FALSAFAH UDHENG,BLANKON (IKAT KEPALA)

MENCOBA MENELAH FALSAFAH UDHENG
Penutup kepala orang jawa tradisional dikenal dengan nama iket ( pengikat ). Dinamakan demikian karena cara memakainya diikatkan melingkar pada kepala. Varian baru yang muncul kemudian di era kolonialisme barat di Indonesia adalah blangkon yang berasal dari kata blanko ( sudah tercetak sesuai bentuk dan ukuran kepala pemakainya ) di mana cara memakainya seperti memakai topi biasa.

Baik iket maupun blangkon dibentuk dari kain berbentuk bujur sangkar yang dinamai udheng ( kata benda untuk kata: 'mudheng' yang berarti mengerti atau memahami ). Dengan memakai udheng seseorang diharapkan akan mempunyai kebijaksanaan untuk mengerti ( mudheng ) akan makna kehidupannya di dunia, paham akan asal dan tujuan kehidupan ( sangkan paraning urip ). Iket dibentuk dengan melipat kain udheng secara diagonal menjadi bentuk segitiga samakaki. 

Sedangkan blangkon dibentuk dari kain udheng yang dibelah secara diagonal sehingga sepotong udheng bisa dijadikan dua buah blangkon. Memang alasan diciptakannya blangkon adalah segi ekonomis dan kepraktisan. Blangkon diciptakan oleh Sri Mangkunegoro IV yang terkenal sebagai raja yang dekat dan peduli dengan kehidupan rakyat kecil. Pada waktu itu setiap laki laki diwajibkan memakai ikat kepala dalam kegiatan resmi sehari hari sehingga keberadaan blangkon sangat menghemat waktu dan biaya. Karena harga sepotong kain udheng cukup mahal ( harus dibatik tulis secara manual ) dahulu juga ada yang membuat blangkon dari kain udeng utuh ( tidak dibelah dua ) agar supaya bila diperlukan bisa diurai lagi jahitannya untuk dijadikan iket. 

Namun bila ditelaah dari segi falsafah yang mendasarinya mungkin tidak banyak makna yang tersirat dalam bentuk blangkon dibandingkan dengan iket. Iket adalah pengikat kepala, bukan sekedar topi atau penudung kepala. Kepala yang diikat ini menyimbolkan agar pikiran manusia yang liar tak terbatas tak beraturan bisa diikat, dikendalikan dipolakan dan diarahkan sesuai norma tertentu yang luhur dan indah. Keluhuran dan keindahan itu disimbulkan dengan keindahan pola batik yang dilukiskan pada kain udheng. 

Baca Juga

Bermacam pola batik mempunyai makna dan tujuan tertentu pula misalnya pola batik truntum pada ikat kepala seorang yang mengadakan hajatan pernikahan anaknya menyiratkan harapan agar kelak pernikahan tersebut menghasilkan kemuliaan dan kesejahteraan serta dikaruniai banyak keturunan yang mulia ( tumaruntum ) bagi keluarga yang baru terbentuk. Kain udheng berwarna ungu tua ( wulung ) sering dipakai para pinisepuh menyiratkan harapan hendaknya seorang yang dituakan mempunyai kebijaksanaan dan kematangan dalam berpikir serta bertindak. Seseorang yang mengenakan udheng dikepalanya diharapkan menjadi orang yang mudheng, mengerti atau paham akan makna kehidupan di dunia. Menjadi orang yang bijaksana. Paham akan sangkan paraning dumadi. Dalam cerita tentang Ajisaka yang meminta tanah di pulau jawa sebagai tempat untuk mendirikan kerajaannya, beliau hanya meminta tanah seluas kain ikat kepalanya yang dibentangkan. Ternyata setelah dibentangkan menjadi sangat luas melebihi luasnya daratan di pulau jawa. Cerita ini melambangkan bahwa pikiran manusia apabila diuraikan bisa menjadi luas yang tak terbatas. 

Oleh karena itu perlu diikat, ditata dan diusahakan sedemikian rupa supaya menjadi rapi dan indah bagi setiap orang yang memandangnya. Orang jawa mengenal falsafah keblat papat lima pancer. Falsafah itu bisa disimbulkan dengan kain udheng yang berbentuk bujur sangkar. Kain udheng biasanya diberi hiasan pola batik di keempat sisinya dan polos di tengahnya. Titik tengah kain udheng itu melambangkan pancer atau pusat/pusar yaitu unsur kelima disamping keblat papat. Apabila dilipat secara diagonal untuk dibentuk menjadi iket maka titik pusat dari kain udheng tadi akan jatuh pada bagian belakang kepala ( otak kecil yang merupakan pusat memori ) pemakainya. Kepala ( otak ) melambangkan pikiran atau ingatan. Bisa dimaknai bahwa seseorang yang memakai udheng harus selalu ingat akan falsafah keblat papat lima pancer tersebut yang akan menuntun lebih jauh kepada pemahaman akan sangkan paraning dumadi. Demikian salah satu falsafah yang tersirat dalam ikat kepala orang jawa khususnya dan sebagian suku bangsa lain di nusantara. Masih banyak makna yang lain yang bisa dikupas dari ikat kepala tradisional nusantara ini. Salam Rahayu. 🙏🏼
Labels: BUDAYA

Thanks for reading FALSAFAH UDHENG,BLANKON (IKAT KEPALA). Please share...!

ADSENSE (11) APLIKASI (29) BLOG (21) BUDAYA (47) GAME BOLA (50) TUTORIAL (37)
Back To Top